PERLAKUAN PPN UNTUK PENGUSAHA TOKO EMAS PERHIASAN

I.      PENDAHULUAN

Hampir sebagian besar Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bergerak di bidang penjualan emas perhiasan merupakan pengusaha perorangan atau orang pribadi. Di kalangan pengusaha toko emas perhiasan tersebut telah lama menjadi pemahaman mereka bahwa PPN yang harus dibayar oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan sebesar 10% X 20% X jumlah seluruh penyerahan emas perhiasan atau netonya 2% dari jumlah penyerahan adalah juga merupakan jumlah yang harus dipungut dari Pembeli atau konsumen. Bahkan sering kita temui mekanisme pemungutan melalui penerbitan Faktur Pajak oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah dengan mencantumkan pada baris PPN yang dipungut sebesar 2% dan sampai saat ini juga masih diterapkan.
Seiring dengan dikeluarkannya peraturan perpajakan mengenai perlakuan PPN atas penyerahan oleh pengusaha toko emas perhiasan yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu, para pelaku usaha toko emas perhiasan ini mulai menyadari akan kesalahan praktek pemungutan PPN yang selama ini mereka terapkan. Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba membahas penerapan ketentuan perpajakan yang benar mengenai perlakuan PPN untuk PKP toko emas perhiasan.
II.    DASAR HUKUM DAN PEMAHAMAN DASAR
Sebelum berlakunya PMK No. 79/PMK.03/2010, PKP toko emas perhiasan melandasi usahanya dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 83/KMK.03/2002 tentang PPN atas penyerahan emas perhiasan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan. Namun PMK no. 79 tersebut tidak serta merta mencabut KMK No. 83 tersebut. Oleh karena itu, kedua ketentuan tersebut masih dapat dijadikan landasan hukum dan penulis dapat mengambil poinnya bahwa KMK-83 tahun 2002 tersebut pada dasarnya lebih banyak mengatur mengenai mekanisme pemungutan dan pembayaran/penyetoran PPN terutang, sedangkan PMK-79 tahun 2010 pada dasarnya mengatur mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP toko emas perhiasan dalam rangka kewajiban pelaporan PPN.
Selanjutnya dibawah ini diuraikan beberapa poin yang diatur dalam kedua ketentuan hukum tersebut di atas yakni sbb:
1.    Yang dimaksud dengan Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dibidang penyerahan emas perhiasan, berdasarkan pesanan maupun penjualan langsung, baik hasil produksi sendiri maupun pihak lain, yang memiliki karakteristik pedagang eceran. Perlu ditekankan bahwa PMK-79 kemudian tidak memberikan definisi yang memberikan penekanan hanya pada orang pribadi, sehingga kemungkinan PKP dalam bentuk badan pada era saat ini bisa juga melakukan usaha toko emas perhiasan. PMK-79 hanya menyatakan bahwa PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN.
2.    Emas Perhiasan adalah perhiasan dalam bentuk apapun yang bahannya sebagian atau seluruhnya dari emas dan atau logam mulia lainnya, termasuk yang dilengkapi dengan batu permata dan atau bahan lain yang melekat atau terkandung dalam emas perhiasan tersebut.
3.    Pengusaha Toko Emas Perhiasan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
4.    Atas penyerahan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dari harga jual emas perhiasan.
5.    Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang melakukan penyerahan Emas Perhiasan wajib membuat Faktur Pajak, memungut, dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, serta melaporkannya pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
6.    PKP selain menggunakan mekanisme penghitungan normal PPN terutang melalui Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan, Pengusaha Toko Emas Perhiasan dapat menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan cara sebagai berikut:

a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah sebesar 10% X Harga Jual Emas Perhiasan;
b. Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah sebesar 10% X 20% X jumlah seluruh penyerahan Emas Perhiasan.

Ini mengandung pengertian bahwa PPN terutang yang dipungut dari konsumen akhir adalah 10% dari harga jual, namun pembayaran/penyetoran oleh PKP toko emas perhiasan hanya 20% dari pemungutan yang telah dibebankan ke konsumen.
Hal inilah yang membuat kesalahpahaman penerapan oleh kalangan pengusaha toko emas perhiasan dimana mereka beranggapan bahwa pemungutan PPN terutang dari konsumen dapat di-neto-kan menjadi 2% dan langsung disetor ke kas negara dari jumlah tersebut sehubungan tidak diaturnya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dalam pelaporan SPT PPN-nya.
7.    Di tahun 2010 inilah, perlakuan PPN terutang menjadi lebih jelas dengan diberlakukannya PMK-79 yang mengatur bahwa besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran dan dengan demikian PPN terutang yang harus disetor oleh PKP menjadi sebesar 20% dari 10% yang telah dipungut dari konsumen yakni sebesar 2% dari harga jual.
8.    PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan PMK-79 ini tidak dapat membebankan PPN atas perolehan BKP dan/atau JKP (atau Pajak Masukannya) sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan. Dasar pemikirannya adalah bahwa berapapun Pajak Masukan yang telah dibayarkan, untuk PKP toko emas perhiasan sudah dianggap mengkreditkan Pajak Masukannya melalui mekanisme 80% dari Pajak Keluarannya.
9.    PKP toko emas perhiasan hanya dapat menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan sesuai PMK-79 dan tidak diperkenankan menggunakan mekanisme penghitungan PPN normal serta berapapun jumlah peredaran usahanya.
III.   PERLAKUAN PPN DAN METODE PENCATATAN/PEMBUKUAN
Berdasarkan dasar hukum dan dasar pemahaman di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perlakuan PPN untuk PKP toko emas perhiasan yang benar adalah :
1.    PPN terutang yang dipungut dari konsumen akhir adalah 10% dari harga jual;
2.    Atas Pajak Masukan yang telah dibayar atas perolehan BKP dan/atau JKP, penghitungannya menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan yaitu 80% dari Pajak Keluaran;
3.    PPN terutang yang harus disetor adalah sebesar 20% dari 10% Pajak Keluaran yakni netonya sebesar 2% dari seluruh penyerahan;
4.    Atas Pajak Masukan yang nyata telah dibayar atas perolehan BKP dan/atau JKP tidak dapat dibebankan sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan.
Kalau kita terapkan perlakuan PPN tersebut dalam metode pencatatan/pembukuan, tidaklah menjadi suatu hal yang membingungkan bagi pengusaha toko emas andaikan apa yang telah berlaku umum sesuai PSAK dipakai sebagai metode pencatatan. Pertanyaan yang sering muncul dalam hal ini adalah bagaimana pencacatan untuk Pajak Masukan yang nyata telah dibayar mengingat tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya. Secara umum kalau boleh kita kutip kembali bahwa jika pengusaha menyelenggarakan pembukuan, pajak yang telah dibayar (aktiva pajak kini) pada akhir periode (masa maupun tahunan) akan disandingkan (di-offset) dengan pajak yang menjadi kewajiban pengusaha (kewajiban pajak kini) sehingga netonya akan disajikan di neraca apakah lebih bayar atau kurang bayar. Untuk konsep PPN, Pajak Masukan pada akhir periode akan di-offset dengan Pajak Keluaran yang akan menghasilkan lebih bayar atau kurang bayar dan untuk Pajak Masukan yang tidak berhubungan dengan usaha (Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan), meskipun tidak diatur dalam UU PPN, secara umum dibebankan sebagai biaya di pembukuan pengusaha.
Jadi ketentuan bahwa Pajak Masukan yang nyata telah dibayar tidak boleh dibebankan sebagai biaya bagi PKP toko emas perhiasan, memang seharusnya begitu karena secara umum Pajak Masukan yang seharusnya dikreditkan tersebut (yang dianggap sudah dikreditkan dalam komponen 80% dari Pajak Keluaran), dicatat sebagai aktiva (bukan biaya) dan pada akhir periode disandingkan dengan Pajak Keluaran yang telah dipungut dari konsumen (dalam hal ini full 10% dari harga jual) dikurangkan Pajak Keluaran yang sesuai ketentuan harus disetor sebesar 2% dari seluruh penyerahan, maka apabila netonya terdapat sisa Pajak Keluaran setelah 2% yang menjadi kewajiban telah disetor, atas sisa tersebut selayaknya dicatat sebagai pendapatan lain-lain dalam laporan keuangan.
Misalnya, Pajak Keluaran yang dipungut sebesar Rp. 100.000.000 (1M seluruh penyerahan x 10%PPN) dan Pajak Masukan yang telah dibayar Rp. 70.000.000, sedangkan PPN yang harus disetor adalah sebesar Rp. 20.000.000 (2% dr seluruh penyerahan), maka masih terdapat sisa Pajak Keluaran pada posisi kredit sebesar Rp. 10.000.000 yang selayaknya dianggap sebagai pendapatan lain-lain dalam laporan keuangan, dengan menjurnal balik (sekaligus menghapus komponen PPN dalam neraca) yakni debit sisa Pajak Keluaran pada kredit Pendapatan Lain-lain.
Dasar pemikiran bahwa Pajak Masukan yang dikreditkan hanya 80% dari Pajak Keluaran, menurut penulis mungkin disebabkan bahwa bahan baku utama dalam pembuatan emas perhiasan sebagian besar berasal dari emas batangan yang tidak terutang PPN, dari pada bahan baku yang berasal dari daur ulang emas perhiasan lama, sehingga dianggap bahwa Pajak Masukan toko emas perhiasan tidak akan lebih besar dari Pajak Keluarannya
IV.  PENUTUP
Demikianlah topik yang penulis bahas untuk menjadi bahan pedoman dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan khususnya PPN bagi pengusaha toko emas perhiasan. Disadari pula bahwa pembahasan ini masih jauh dari kesempurnaan dan dimohon sumbangsih pemikiran dan pendapatnya untuk menyempurnakan topik perlakuan PPN untuk PKP toko emas perhiasan ini.

One thought on “PERLAKUAN PPN UNTUK PENGUSAHA TOKO EMAS PERHIASAN

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s